KAMPUNG SEGERAM DALAM ARUS SEJARAH NATUNA (2)

Terbit: oleh -20 Dilihat
Sungai Segeram jalur laut menuju Kampung Segeram, terlihat dari udara

Abstrak

Segeram dalam perspektif sejarah ada bandar melayu pertama di Natuna. Berbagai peradaban baru lahir di Segeram. Peradaban dalam konteks pemerintahan, dakwah atau islamisasi, intraksi dengan berbagai kawasan Fatani, Johor, Cempa, Daik Lingga, Banjar dan suku laut saling berjalin kelindan. Namun kini, Segeram yang dulu bandar (pusat Keramaian dan peradaban) bagaikan kampung mati, terisolir dan tidak menarik, termasuk bagi orang Segeram itu sendiri. 

Untuk mengetahui jejak sejarah dan perubahan apa saja yang dilahirkan di Segeram yang kemudian menjadi episentrum perubahan peradaban di Natuna, maka Tim peneliti (Umar Natuna, Nikmat Sabli) dan didukung oleh kelompok peneliti mahasiswa STAI Natuna (Rajab, Apriani, Hazmiza), mengumpul data dengan metode wawancara, aksi riset lapangan, dan telusuran kepustakaan.  Hasil temuannya dan analisis sebagaimana dipaparkan dalam tulisan berjudul Kampung Segeram Dalam Arus Sejarah Natuna; Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram.


 KAMPUNG SEGERAM DALAM ARUS SEJARAH NATUNA

(Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram)

Oleh : Umar Natuna dan Nikmat Sabli *


 

NAMUN demikian sebagaimana dituturkan oleh Bapak Syamsudin kepada Tim Peneliti bahwa di Segeram dahulunya terdapat sejumlah “rumah besar”, yang dibangun di pinggir sungai Segeram. Rumah tersebut diperkirakan sebagai tempat tinggal para pembesar dan kerabat keluarga para  pembesar (tok) masyarakat Segeram.

Ditambahkan oleh beliau, di Segeram terdapat banyak tokoh antara lain ada Tok Kasim, Tok Usman, Tok Yunus, Tok Idin, Tok Abu dan sebagai perintis kampung Segeram pasca Demang Megat dan Engku Putri menurut beliau adalah Tok  Jong a’out (Tok Jumat).

Rumah besar atau bangunan fisik dalam bentuk rumah atau istana (mahligai) yang pernah dibangun oleh Demng Megat untuk istrinya Engku Fatimah memang tidak bisa dijumpai lagi, hal ini kemungkinan karena bangun tersebut terbuat dari kayu, yang mudah lapuk atau mudah diroboh atau dipindahkan.

Hal ini tentu berbeda dengan nisan yang ada di Segeram, dimana nisan-nisan yang terdapat pada makam-makam di Segeram masih dapat kita jumpai, walapun sebagian besar sudah mulai lapuk, karena tidak ada perawatan dan pelestarian baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah Kabupaten Natuna.

Potret kehidupan masyarakat Kampung Segeram yang berada di pinggir Sungai Segeram saat ini

Masyarakat Segeram juga memiliki beberapa jenis peralatan penangkapan ikan, udang dan hasil laut lainya, seperti pancing, bubu, ramai, jaring, tube, tombak ikan dan menyelam. Selain itu mereka juga sangat mahir membuat berbagai jenis kapal / perahu atau pompong, rakit, tongkang  untuk peralatan penagkapan ikan, angkutan transfortasi dan perdagangan.

Hal ini tentu memberikan suatu bukti bahwa peradaban maritim sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, sebagaimana masyarakat maritim lainnya di Natuna dan dunia.  Hal ini bisa dipahami, karena sejak awal mata pencaharian masyarakat Segeram sebagaimana dikemukakan Ismail dan Faisal Prihadi adalah hasil laut yakni ikan dan udang.

Berbagai bukti lain bisa menjadi petunjuk bagi kita semua untuk mengatakan bahwa dahulunya Segeram adalah bandar Melayu Natuna. Pertama, Peradaban Melayu awal sebagaimana dikemukakan Wirtheim terdapat tiga pokok sistem kemasyarakatan. Pertama, adanya pusat bandar sebagai negara kota pesisir Nusantara dengan kegiatan perdagangan.

Kedua, pedalaman bandar pesisir yang mengusahakan kegiatan tanaman perdagangan seperti lada hitam dan padi huma. Dan ketiga, perkampungan petani, yaitu daerah sawah padi tempat terdapatnya pusat pemerintahan beraja seperti keraton di jawa.  (Azis Darmawan, Hlm 5-6).

Jika kaitan sejarah dan perkembangan peradaban Melayu dan kawasan di Asia Tenggara dikaitkan dengan Kampung Segeram, maka tentu saja Segeram memiliki arus  sejarah yang kuat dalam sejarah Natuna khususnya dan Asia Tenggara umum.

Pembina Yayasan Abdi Umat Kabupaten Natuna bersama tim STAI Natuna sedang berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh masyarakat Segeram

Segeram menjadi jejak awal sejarah perkembangan Natuna. Yakni dimana Segeram sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keagamaan, maka tentu  tidak salah jika kemudian kita katakan Segeram adalah Bandar Melayu di Natuna. Karena di Segeram lah awal mula cerita dan catatan tentang kegiatan pemerintahan, literasi ( pendidikan) , islamisasi dan kehhidupan yang beradab. Dari segeramlah baru muncul kemudian Binjai, Penibung, Mahligai, kelarik, Sedanau dan lainnya.

Kedua, sebagai  pusat keramaian disebut Bandar (bendo), dengan ciri ciri yang melekat padanya yakni;  pusat keramaian atau intraksi dengan pihak luar dalam berbagai hal ( ekonomi, politik, pendidikan dan pemerintahan), ada kegiatan literasi (aktivitas baca tulis atau pendidikan) dan tempat ibadah dan aktivitas dakwah. Maka sudah itu, Segeram masa itu adalah pusat remaian (pelabuhan) sebagai  media perdagangan, intraksi dengan berbagai kalangan ada dari Campa, Syiam, Fatani, dan bahkan cina tentunya.

Ketiga, selain  sebagai  pusat pemerintahan di tepi sungai Segeram, juga terdapat berbagai peninggalan masa lalu, antara lain  ada benteng pertahanan, ada rumah-rumah besar tempat pertemuan para tetamu, pemakaman dan berbagai peninggalan lain, yakni peralatan perang  seperti keris,  meriam-pelurunya  serta perkakas rumah tangga dalam hal ini keramik.

Khusus untuk makam-makam  yang ada di Segeram  selain jumlah sangat banyak, luas, hamparannya dan juga bermacam nama dan lokasinya. Ada makam Engku Fatimah dan Putri Wulan di Gunung Sedenu, ada Makam Tujuh di pinggir sungai Segeram atau makam-makam besar lainya di jalan masuk ke Kampung Segeram yang oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) STAI Natuna disebut Komplek Makam Tua.

Nisannya terbuat dari batu laut-terukir rapi, namun kini sudah mulai lapuk di makan zaman. Selain, itu ada berbagai tipe nisan di Kampung Segeram, ada yang memanjang, bulat dan tegak lurus. Selain itu, sebagaimana dituturkan Ketua RW  Kampung Segeram  Faisal Prihadi ada makam yang tidak mengarah pada kiblat. Apa yang terdapat di Segeram tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Natuna. Hal ini barangkali  Segeram (baca: Natuna)  pada abad 11 s/d 14 telah menjadi pusat persinggahan kapal –kapal dagang asing.

Salah satu makam tua di Kampung Segeram yang terlihat mulai punah karena tidak terlestarikan

Menurut catatan Sony. C. Wibisono (dalam Kalpataru:, Majalah Arkiolog, vol 23: Nopember 2014)  ada hubungan dagang resmi antara Sriwijaya , Cina dan Campa sebanyak 40 (misi dagang), Annam  20 (misi dagang), Kamboja 5 (misi dagang), Brunai 2 (misi dagang) dan bahkan dengan dunia rab sebanyak 35 (misi dagang). Misi dagang ini diperkirakan akan lebih banyak, mengingat pada abad 14-16 M ada dua rute perdagangan yang melintasi Pulau Natuna, pertama, jalur dari Timur dari Quanzhou langsung menuju perairan sulu (Filipina : Penulis) menuju nusantara bagian timur. Sedangkan yang kedua, jalur Barat dari Guandong berlayar menuju pinggiran Pantai Cina, Hainan, Champa-terus kesemanjung Melayu menuju Tuban, jawa Timur.

Bukti bahwa Natuna masa itu dikenal Segeram, atau Srindit) berada dalam jaringan perniagaan maritim dunia dapat dibuktikan melalui temuan keramik dan sejumlah artefak lainnya. Yakni  keramik dari Cina  dari Dinasti Song dan Yuan yang memiliki kesamaan dengan keramik di Barus, Samudera Pasai, Muara Jambi dan Palembang, sekitar abad 11-12, kemudian ditemukan lagi keramik abad 13-14 dan memasuki abad 15-16 jumlahnya menurun, dan kembali naik pada abad 18-19 sampai abad 20.

Berapa lama Segeram sebagai Bandar Melayu Natuna memang tidak bisa dipastikan. Namun melihat jejak rekam kemajuan daerah lain seperti Binjai, Mahligai, Kelarik, Pulau Tiga dan Sedanau Bunguran Barat boleh jadi cukup lama, karena di Segeram adalah kampung induk.

Sebagaimana dikemukakan Bapak Syamsudin salah seorang tokoh Masyarakat Segeram kepada tim Peneliti, bahwa Kampung Segeram adalah kampung induk, dari Segeramlah, kemudian berpindah ke Binjai yang merupakan desa bagian dari Kecematan Bungguran Barat yang setanah dengan Bunguran Besar.

Dimana di Binjai terdapat Keramat Binjai tempat Dang Megat bertapa, atau Ahmad Kamil Basya-penyebar Islam dari Fatani yang sakti (menurut cerita Rakyat Natuna), kemudian baru berpindah ke Mahligai-desa Sungai Ulu Kecamatan Bunguran Timur. Dari Mahligai ini kemudian menyebar di berbagai kawasan lain seperti Kelarik, Pulau Tiga (Penibung), Sedanau, Pengadah, Singgang Bulan. (Bersambung…).


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *