KAMPUNG SEGERAM DALAM ARUS SEJARAH NATUNA (3)

Terbit: oleh -95 Dilihat
Pintu masuk dari arah laut sungai segeram menuju perkampungan Tua Segeram

Asal Usul dan Perkembangan Masyarakat Segeram


MASYARAKAT awal Segeram, menurut cerita rakyat (oral history) adalah para bangsawan dari Fatani (Thailand), Syiam, semenanjung Malaysia (Kelantan dan Terengganu), Johor dan Brunai.

Pada  bagian lain ada yang mnyebutkan bahwa  kehadiran penduduk di Segeram bermula dari kedatangan sekelompok orang dari ‘Kerajaan Campa’ masuk dari jalur selatan terus ke Siam, Fatani dan Semenjunng Malaka, yang kemudian membentuk pemerintahan sendiri tepi Sungai Segeram. (Umar Natuna, Dkk, hlm, 94-95).

Dalam cerita rakyat Natuna dikisahkan bahwa sekitar tahun 1600-an M, Sultan Johor yakni Sultan Alaudin Riat Syah mempunyai seorang putri bernama Engku Fatimah.  Engku Fatimah oleh Sultan di kirim ke daerah lain dengan membawa 7 perahu beserta dayang dan pengawalnya sebanyak 40 orang. Engku Fatimah di bekalii sebuah mahkota sebagai bukti ia keluarga Sultan.

Setelah belayar sekian lama sampailah rombongan Engku Fatima ke Kampung Segeram. Sedangkan  di Hulu Sungai Segeram hidup seorang Pemuda berasal dari Syiam bernama Dang Megat, kemudian diislam dan dinikahkan oleh Engku Putri menjadi suaminya dengan panggilan Datuk Balau Silak. Setelah menikah dengan Engku Putri, Demang Megat diberi gelar “Srindit Dina Mahkota”, berarti pemegang kekuasaan atas nama raja perempuan di Pulau Srindit.

Potret kehidupan masyarakat Kampung Segeram yang berada di pinggir Sunagi Segeram saat ini

Dalam versi lain diceritakan, sekitar tahun 1610 Masehi sejak kedatangan Engku Fatimah ke Pulau Srindit dan setelah Megat bergelar ‘Orang Kaya Serindit Dina Mahkota’ mulailah Pulau Srindit berpemerintahan sendiri dari Kerajaan Johor atas kuasa Engku Fatimah yang berpusat di Segeram.

Megat kemudian memerintakan rakyatnya membuat Mahligai tempat bersemanyamnya Engku Fatimah. Mahligai tersebut dibuat dari bahan Kayu Bungur, maka dari nama Kayu Bungur inilah Pulau Serindit berganti nama Menjadi Pulau Bunguran. (Joko Marrhandono, DKK, Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna, 2017, hlm 26).

Rida K. Liamsi dalam tulisanya Natuna; Dari Srindit ke Poros Maritim Dunia (2021) mengemukakan bahwa peradaban di Pulau Srindit yang kemudian berubah menjadi Pulau Bunguran bermula ketika seorang puteri kerajaan Johor bernama Dayang Ayesha (ada juga yang menyebut Engku Fatiman) terdampar di Pulau Bunguran dalam perjalanannya ke Pulau Zulu di Selatan Filpina. Ketika ia membangun kediamannya di pulau tersebut (Srindit) ia memakai kayu yang nama kayu bungur, karena itu tempat itu bernama Pulau Bunguran.

Dalam buku toponomi daerah Natuna, dikisahkan bahwa Demang Megat terseret banjir besar yang meruap di negeri Syangka Siam. Beliau terombang-ambing selama lebih dari seminggu di atas rumpun bambu yang ikut terhanyut ke laut tepas, hingga terdampar di sebuah pulau kosong.

Potret beberapa rumah penduduk yang saat ini masih berada di Kampung Tua Segeram

Karena tidak dijumpai seorang manusia pun di pulau itu, kecuali burung-burung kecil berbulu hijau yang bemama burung serindit di dalam semak belukar. Oleh karena itu, pulau tersebut kemudian dinamakan Pulau Serindit. Untuk menyelamatkan diri dari gangguan binatang buas, Demang Megat memanjat pokok kayu balau bercabang silak (bercabang pecah kecil-kecil).

Beliau pun memanjat dan tinggal di atas pokok balau bercabang silak itu hingga bertahun-tahun lamanya. Sementara itu, Raja Fatimah dari Johor yang lumpuh sejak kecil hendak dicarikan jodoh. Karena selama ini, calon suaminya selalu meninggal dunia begitu akan dinikahkan dengan Raja Fatimah.

Oteh karena itu, menteri utama yang selalu setia mengiringi kepergian Raja Fatimah memutuskan untuk beregung-beregung (memukul gong dan canang) sekeliling pulau. Dengan maksud, agar ada orang yang berkenan mengawini Raja Fatimah. Pada kesempatan itu, Demang Megat yang memanjat pokok kayu balau bercabang silak (bercabang pecah kecil-kecil) turun dari pokok kayu tersebut.

Beliau bersedia dinikahkan dengan Raja Fatimah dan diislamkan sesuai dengan adat Islam. Dengan panggilan Datuk Balau Silak. Setelah menikah dengan Raja Fatimah, ia diberi gelar “Serindit Dina Mahkota”, yang berarti pemegang kekuasaan atas nama Raja Perempuan di Pulau Serindit.

Perkawinan Demang Megat dengan Engku Fatimah melahirkan seorang anak yang bernama Orang Kaya Jantung, kemudian orang Kaya Jantung memiliki anak  orang Kaya Aling.

Potret beberapa rumah penduduk yang masih ada di Kampung Tua Segeram

Sekitar tahun 1853 M Orang Kaya Wan Rawa mengggantikannya ayahnda Orang Kaya Dina Mahkota yang memerintah kedaulatan bunguran. Oleh karena Bandar Penibung mudah dicapai oleh bajak laut maka pusat pemerintahannya dipindahkan dari Penibung ke Mahligai (Sungai Ulu), yaitu suatu tempat di pedalaman Pulau Bunguran. (Joko Marihandoko, hlm 39).

Kemudian Wan Rama Rawa membagi dua kekuasaan Pulau Bunguran kepada dua orang putranya, Wan Pasak dan dan Wan Teras. Wan Pasak diberikan kekuasaan untuk memimpin Pulau Bunguran bagian Barat dengan gelar Datuk Kaya Pasak, sedangkan Bunguran Timur dipimpin oleh abangnya Wan Teras, dengan gelar Datuk Kaya Teras.

Wan Teras selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya dari Kampung Mahligai Sungai Ulu ke kampung yang baru, yaitu di tepian Sungai Ranai. Tempat tersebut dinamakan Ranai, karena ketika itu di daerah tersebut banyak terdapat pohon Penai, sejenis pohon yang berbuah dan berwarna putih serta dapat dimakan oleh burung dan juga manusia.

Harus diakui bahwa peradaban yang berkembangng di Pulau Srindit yang kemudian berubah menjadi Pulau Bunguran yang bermula dari Hulu Sungai Segeram memang cukup panjang. Paling tidak sudah 14 abad lalu, jika dihitung dari  kedatangan I Tsing. Namun baru dihuni kira-kira tahun 1200 atau abad 13 sejak kedatangan bangsawan dari Siam dan Campa sampai ke Pulau tersebut.

Diperkirakan bahwa sebelum kedatangan bangsawan dari Siam dan Campa Pulau Srindit atau Pulau Bunguran sudah ada yang mendiaminya, yakni Melayu Tua. Hal itu diperkuat dengan cerita rakyat Natuna, bahwa dahulu kala ditemui orang ‘kate’ di kaki gunung Ceruk dan ranai.

Salah satu makam tua di Kampung Tua Segeram dikelilingi hutan lebat.

Orang ‘kate’ atau pendek itu adalah sebutan atau salah satu ciri dari orang Melayu Tua. Hal tersebut tentu sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wilhelm G. Solheim sebagaimana dikutip Ellya Roza dalam bukunya sejarah Tamadun Melayu bahwa Asia Tenggara adalah sebagai tempat mula-mula terciptanya peradaban manusia. Itu artinya, peradaban Melayu bukanlah kelanjutan dari peradaban India dan Cina. (Ellya Roza, hlm 85).

Namun masyarakat awal di Kampung Segeram, yakni generasi Demang Megat dan Engku Fatimah dengan masyarakat sekarang ini mengalami berbagai pasang surut pertumbuhannya.

Generasi awal atau generasi Demang Megat dan Engku Fatimah diperkirakan di mulai pada akhir abad 15 Masehi, yakni bertepatan masa Sultan Alaudin Riayat Syah III (Tahun 1597-1655 M). Akan tetapi jejak-jejak masih ada, dan  saling keterkaitan dengan apa yang ada di Segeram.

Sebagaimana diceritakan oleh Bapak Syamsudin kepada Tim Peneliti bahwa di Segeram ada  “keturunan Datuk Kaya dan anaknya bernama Putri Bulan“ di Gunung Sedenuk. Putri Bulan adalah seorang gadis yang cantik. Karena kecantikan, maka terdengar kabar oleh para Lanon.

Lanun atau Lanon (dialog Natuna) adalah para perompak laut, yang merompak harta benda para pedagang atau siapa saja di laut.  Maka  datang lah si Lanun tersebut ke Kampung Segeram untuk memperebutkan Putri Bulan. Kemudian terjadilah perkelahian atau pertempuran  antara Lanun dengan Datuk Kaya di hulu sungai yang merupakan benteng pertahanan Datuk Kaya.

Dalam perkelahian tersebut Datuk Kaya terpeleset dari Batu atau benteng pertahanan dan terbunuh oleh sang Lanun. Sedangkan sang Putri Bulan disimpan di Gunung Sedenuk dan meninggal tanpa diketahui. Akan tetapi sebagian masyarakat Segeram mengatakan bahwa Makam yang ada di Gunung Sedenuk adalah Maka Putri Bulan.

Salah satu jenis batu nisan dengan berbagai ukiran yang ditemukan bertumpuk-tumpuk di tengah hutan Kampung Tua Segeram.

Setelah generasi Demang Megat dan Engku Fatimah, Kampung Segeram mengalami kemundurun, dan boleh dikatakan mengalami abad kegegelapan (Dag Age), mengalami keterputusan generasi awal dengan generasi berikutnya.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Ketua RW Segeram Faisal Prihadi kepada Tim Peneliti, bahwa menurut cerita yang didapatinya Segeram pernah ditinggal oleh manusia, namun ia tidak tahu penyebabnya.

Maka munculnya  generasi berikutnya yang mendiami Segeram adalah berasal dari  daerah Daik Lingga, Banjar, Kalimantan dan Suku Laut. Menurut keterangan Bapak Syamsudin perintis Kampung Segeram generasi atau priode kedua pasca generasi Demang Megat dan Engku Fatimah adalah “Tok Jong A’out” (baca; Tok Jumat).

Tok Jumat adalah Atok dari Wan Tiase. Wan Tiase bersumikan Atok Usman berasal dari Banjar, sedang Wan Tiase berasal dari Suku Laut namun lahir di Segeram. Periode generasi kedua ini diperkirakan 300 tahun lalu.

Dari keturunan Tok Jumat inilah kemudian lahir generasi baru yang mendiami masyarakat Segeram. Semasa itu diceritakan Bapak Syamsudin masyarakat Segeram sangat maju dan ramai. Berbagai kegiatan perdagangan, agama dan pendidikan berkembang di Segeram. Sehingga daerah sekitar seperti Sedanau, Kelarik dan pulau lainnya belajar agama di Segeram.

Ada beberapa tokoh ternama dalam masa ini, antara lain, Tok Kasim, Tok Usman, Tok Yunus, Tok Idin dan Tok Abu. Nama nama ini kemudian diabadi sebagai nama-nama tempat di Segeram, seperti Sungai Tok Kasim, Tok Idin dan Tok Abu.

Salah satu makam tua dengan batu nisan bertumpuk terlihat dililiti ikatan kain di Kampung Tua Segeram

Tok Kasim diperkirakan adalah Sayyid Qosim Bin Yasin Al Aidarus atau dikenal juga dengan julukan nama Tuan Jubah Hitam. Wafat pada 14 Sya’ban tahun 1532 H sesuai yang tertulis di Nisan makamnya terdapat di Segeram, tepatnya disamping Mesjid Al-Bihar.

Setelah generasi kedua ini, maka Segeram lagi-lagi mengalami kemunduran. Masyarakat Segeram yang dulunya ramai, tinggal beberapa keluarga saja. Menurut Bapak Zurman, Imam Mesjid Al-Bihar Segeram, ketika beliau masuk Segeram tahun 2005, penduduk Segeram itu tinggal  7 buah rumah. Yakni rumah Yah Engku atau Said Ahmad, rumah Said Haidir, Wan Zali, Yunus, Syamsudin, Hamlah dan Ismail.

Padahal sebelum itu sekitar tahun 1970an penduduk Segeram sangat ramai. Menurut penuturan Bapak Sidik salah seorang tokoh masyarakat Segeram, ketika beliau bersekolah tidak kurang 40 orang siswa dalam satu kelas atau lokal.  Selain itu terdapat  2 Klub Bola Kaki dari Segeram.

Kenapa hal itu terjadi? Berbagai spekulasi muncul dalam cerita rakyat di Segeram. Pertama, ada semacam kutukan sejarah bahwa Segeram tidak akan pernah maju lagi. Konon sebab pernah terjadi konflik keluarga di Segeram, akibat dari perkelahian antar keluarga itu, maka yang meninggalkan Segeram kemudian berujar bahwa kami “bersumpah” Segeram tidak akan pernah berkembang dan maju.

Kedua, faktor pendidikan. Sebelum di Sgeram ada SMP Satu Atap seperti sekarang ini, di Segeram hanya ada sebuah SD Negeri. Nah, ketika anak-anak Segeram tamat dari SD kemudian harus pindak ke Sedanau, Kelarik dan bahkan Ranai untuk meanjutkan pendidikan ke jenjang SMP atau MTS.

Maka kemudian anak-anak pindah sekolah yang diikuti oleh orangtuanya pindah karena ikut menenami atau mendampingi anaknya melanjutkan Sekolah. Begitu seterusnya dari tahun ke tahun yang akhirnya penduduk Segeram semakin hari hari semakin berkurang. (Bersambung…..).


  • Kampung Segeram Dalam Arus Sejarah Natuna
  • (Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram)
  • Oleh : Umar Natuna dan Nikmat Sabli *

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *