REPRESENTASI WANITA PADA KULTUR BUDAYA JAWA DALAM FILM KARTINI 2017

Terbit: oleh -54 Dilihat
Muhyi Aditya Supratman

Apa yang menarik pada konteks ini adalah representasi wanita pada ruang kultural budaya Jawa yang dibangun dalam sistem moral patriarki di film Kartini 2017. Sistem moral yang menghadirkan ruang integrasi dalam proses sosial menghadapi persoalan ketika peran wanita yang diprivatisasi oleh kultur masyarakat.

Kontruksi atas perspektif kesetaraan menempatkan kehadiran wanita dibawah naungan superioritas laki-laki. Pada tahapan ini, ruang superioritas tercermin ketika kontruksi patriarki memberikan legitimasi terhadap wanita. Dalam sejarah panjang kehadiran budaya patriarki merupakan kontruksi atas budaya sejak zaman kerajaan yang hingga kini masih di kontruksikan dalam realitas kehidupan masyarakat.

Masyarakat merupakan representasi dari struktural fungsional yang di lekatkan pada proses peran masing-masing institusi dan individu. Setiap peran dalam masyarakat menghadirkan kerangka kerja yang spesifik dalam konteksnya sebagai fakta sosial yang dapat diamati.

Budaya patriarki dalam sosialitas masyarakat dibawah sistem nilai moral merupakan representasi kehadiran budaya sebagai hasil olah ekspresi manusia yang dibingkai dalam proses kultur yang di legitimasi oleh sekelompok individu.

Sistem moral patriarki terbentuk ketika realitas sosial masyarakat melegitimasi wanita dalam ruang privat, artinya yang dilakukan wanita dalam kehidupan sosialnya hanya berkutak pada proses produksi di ruang rumah dan mendampingi pasangannya.

Stereotip merupakan konsep yang menjadikan tanda dalam lingkup sosial masyarakat. Penandaan ini melekat pada penilaian terhadap individu maupun kelompok masyarakat dalam keseharian sosial seperti kepada para laki-laki dan perempuan.

Hal ini didasari oleh bagaimana konteks kontruksi tersebut terbangun melalui budaya yang berkembang serta tradisi-tradisi yang telah diturunkan dari nenek moyang. Kultur budaya masyarakat jawa begitu di lekatkan pada proses bagaimana wanita di posisikan dalam keseharian yang inferior.

Muhyi Aditya Supratman, Mahasiswa Sosiologi Universitas Jember.

Film Kartini merepresentasikan hal tersebut dalam konteks budaya patriarki yang dilanggengkan ketika berhadapan dengan ruang privatisasi wanita. Kebebasan berfikir merupakan tujuan yang hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan.

Kartini sebagai salah seorang putri dari Adipati Jepara, merupakan seorang bangsawan wanita yang memiliki pengaruh yang cukup penting di dalam masyarakat. sebaliknya, menjadi seorang bangsawan wanita, terdapat adat yang harus di taati, terdapat nilai dan norma yang di junjung tinggi.

Pingitan merupakan ritualisasi yang beranjak dari proses budaya yang menempatkan kehadiran wanita dalam diskursus ruang ketidakbebebasan untuk selanjutnya akan dinikahkan.

Pada proses ini, pingitan merupakan representasi dari bagaimana konteks stereotip di bangun dalam masyarakat Jawa yang cenderung tradissonalistik. Representasi gambar yang menjadi ikon dari artikel ini merupakan tradisi pingitan yang dalam hal ini merujuk pada wanita yang hendak di nikahkan.

Kartini menolak hal tersebut sebagai konsekuensi ketidakbebasannya dalam lingkup ruang bangsawan yang mengharuskan wanita untuk melalukan pingitan sebelum menikah.

Kultur masyarakat menjadi salah satu konteks dalam film Kartini 2017 dalam mendorong subkultur ke orentasinya perubahan sosial. Tradissonalisme yang melekat sebagai autentisitas suku  Jawa ditegakkan pada kerangka konservatif dalam penjagaan kultur yang telah ada sejak nenek moyang.

Feminisme liberal memberikan sedikit pandangan tentang bagaimana pola relasi kuasa antara laki-laki dan wanita. Apa yang hendak dihantarkan pada proses keseimbangan adalah kesamaan peran dalam konteks sosial dan kultural.

Kaum feminisme memiliki sudut pandang tentang bagaimana wanita di posisikan dalam keseharian sosial di masyarakat secara inferior. Budaya menjadi salah satu sudut pandang dalam menempatkan kehadiran wanita dalam historiografinya dalam sejarah perjalanan hidup masyarakat yang tradissonal.

Sebagai bagian dari substruktur dan kultur masyarakat, budaya menghadirkan ruang gerak dialektis antara posisi wanita dan laki-laki dalam ruang kebebasan dan fungsional di masyarakat.

Melalui buku, kartini dan kedua saudaranya mencoba untuk membebaskan alam fikiran yang terdistorsi oleh kultur budaya yang patriarki. Menempatkan laki-laki pada diskursus ruang kebebasan, sedangkan wanita di posisikan pada ruang privat yang hanya berkutak pada pola-pola kesehaarian sosial seperti memasak dan menjadi istri yang baik bagi suaminya.

Akses pendidikan yang menghadirkan ruang kebebasan hanya di miliki oleh para laki-laki. Wanita di posisikan dalam subkultur kebudayaan yang berdialog dengan internalisasi budaya yang dialektis dengan tradissonalistik.

Perubahan pada mode gerak tradissonal memberikan peluang pada proses kebebasan wanita ketika mengekpresikan dirinya ketika berhadapan dengan relasi kuasa dalam pandangan budaya Jawa dan ruang bangsawan yang melekat pada diri Kartini.

Budaya jawa yang tercermin dalam kontruksi masyarakat di film Kartini merupakan suatu penandaan dialektis antara subkultur yang ajeg berhadapan dengan ruang kebebasan yang hendak di capai melalui proses pendidikan dan emansipatoris.

Kartini mencoba merombak tatanan kultural yang telah ada dalam proses gerak sejarah yang tradissonal. Dengan menulis, kartini mencoba menuangkan gagasan pemikiran tentang suatu kebebesan dalam belenggu patriarki yang merujuk dalam konteks kultural.

Apa yang hendak di capai melalui pendidikan dan pemberdayaan wanita dengan mengajarkan membaca dan menulis merupakan suatu metode untuk menanamkan kebebesan dari superioritas kultural yang mengatasnamakan istri yang disukai oleh para suami. (*).


DATA DIRI PENULIS

  • Nama : Muhyi Aditya Supratman
  • Mahasiswa Sosiologi Universitas Jember

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *