Dizaman milenial seperti sekarang ini, film merupakan ajang menunjukkan karya-karya anak bangsa. Banyak film yang memberikan dampak positif dan negatif. Dan kali ini saya akan mengkritik film “Dua garis biru” yang disutradarai oleh Guna S. Noer dan dibintangi oleh Zara Adhisty sebagai Dara dan Angga Yunanda sebagai Bima yang menjadi pemeran utama di film “Dua garis biru”.
Film yang di tayangkan pada tanggal 11 Juli 2019 ini, banyak sekali mengundang pro dan kontra. Mengapa demikian?, karena di film ini mengandung unsur pergaulan bebas. Oleh karena itu saya mencoba untuk menonton secara langsung film ini di bioskop dan menurut saya film ini cukup menarik perhatian saya.
Kisah ini dimulai dari Bima dan Zara yang merupakan pasangan kekasih saat masih di jenjang SMA. karena mereka berada di sekolah yang sama membuat mereka menjadi sering bertemu. Hingga suatu ketika di siang hari setelah pulang sekolah mereka pulang dan melakukan hubungan yang tidak seharusnya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah yang menyebabkan Dara hamil saat masih duduk di bangku SMA.
Sejak saat itu semuanya berubah, kehidupan dara dan Bima menjadi lebih kelam yang dipenuhi oleh pertengkaran dan tekanan batin antar tokoh. Sehingga mereka terpaksa memberi tahu kejadian ini kepada orang tua masing-masing yang menyebabkan keduanya dipaksa menikah.
Hal ini membuat Dara dan Bima menjadi putus sekolah di bangku SMA. Dara terpaksa meninggalkan mimpi-mimpinya. Setelah menikah pun kehidupan pernikahan mereka tidak berjalan dengan mulus begitu saja, kehidupan pernikahan mereka tetap diwarnai oleh konflik antar keluarga. Terlebih kebimbangan Dara dalam memberikan hak asuh buah hatinya, karena keluarga dara menginginkan agar anak yang di kandung oleh Dara diberikan kepada kerabat mereka, dengan alasan bahwa Dara dan Bima belum siap mental untuk merawat dan menerima anak mereka.
Disatu sisi akhirnya saat anak Dara lahir, hak asuh jatuh ke tangan keluarga Bima dan Dara melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda ke Korea.
Setelah menonton film ini, saya mendapatkan hal positif seperti keluarga adalah segalanya. Hanya keluarga yang bisa menerima dan memaafkan semua kesalahan yang sudah kita perbuat.
Menurut saya juga, dari film ini banyak orang tua yang bisa belajar bahwa untuk selalu bisa memantau anak-anak mereka dari setiap hubungan percintaan mereka, dengan cara mendekatkan diri kepada anak agar anak tidak merasa punya batas dalam bercerita tentang banyak hal.
Dari film ini juga kita mendapatkan ilmu “sex education” yang dapat membantu saya dan banyak orang tidak terjerumus kedalam pergaulan bebas.
Sebagai pecinta film-film Indonesia, saya ingin memberikan saran kepada sutradara film, penulis naskah film agar dapat membuat film yang dapat memberikan hal-hal positif yang bisa memotivasi semua pecinta film Indonesia. (*).
Biodata Penulis
- Nama : Theresya Ratna Sari Panjaitan
- Kelas : M01 PBSI
- NIM : 2003010090
- Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
- Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
- Universitas Maritim Raja Ali Haji